Pemilu dan Model Perilaku Memilih di Kabupaten Pidie

Pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warganegara yang memenuhi syarat. Pesertanya dapat berupa perseorangan dan melalui partai politik tetapi yang paling utama adalah partai politik. Partai politik mengajukan kandidiat dalam pemilu untk kemudian dipilih oleh rakyat.[1]
Negara yang demokratis para penyelenggara pemerintahannya dipilih melalui sistem Pemilu. Pemilu di Indonesia kita kenal antara lain yaitu Pemilihan Umum Legislatif, Pemilu Pilpres, dan Pilkada. Dalam pelaksanaannya Pemilu  dilakukan berdasarkan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam kerangka NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu instrument dalam perwujudan demokrasi. Pemilih merupakan unsur paling vital dalam perannya sebagai penentu terpilihnya wakil-wakil dari mereka untuk duduk dalam pemerintahan. Partisipasi pemilih akan sangat berpengaruh bagi suksesnya pelaksanaan pemilihan umum, sehingga peningkatan partisipasi pemilih sangat penting dan menjadi tanggung jawab bersama penyelenggara dan kontestan pemilu untuk selalu mensosialisasikan kepada masyarakat khususnya.[2]
Perilaku memilih adalah proses penentuan keputusan seseorang untuk memilih (atau tidak memilih) partai atau kandidat tertentu dalam sebuah pemilihan umum. Dimana ini bisa dilihat perilaku memilihnya dari dua level analisis yang berbeda, yakni level mikro (individu) dan level makro (masyarakat).
Faktor-faktor  mempengaruhi pemilih seseorang :
-        Tingkat pendidikan
-        Jenis pekerjaan
-        Tingkat pendapatan

Model-model perilaku pemilih :
      Model Sosiologis = Perilaku memilih ditentukan oleh karakteristik sosiologis para pemilih, terutama kelas sosial (ditentukan juga oleh ideologi), agama dan kelompok etnik/kedaerahan/bahasa.
      Model Psikologis = Perilaku memilih sesuai kedekatan keluarga, teman, atau hubungan lain dengan si calon yang maju.
      Model Pilihan Rasional = Perilaku memilih sesuai degan ekonomi-politik. Kondisi ekonomi-politik merupakan inti model pilihan rasional. Para pemilih akan memilih apabila calon atau partai dpt memenuhi kebutuhan ekonominya. Kemudian terdapat mekanisme reward and punishment.[3]
Tentunya perilaku pemilihan di suatu daerah pasti dipengaruhi juga bagaimana tingkat pendidikan, pekerjaan, pengangguran dan aspek lain. Dalam hal ini kabupaten Pidie sebuah kabupaten di Aceh dengan jumlah penduduknya  410.580 jiwa dengan pekerjaan didominasi oleh petani sebesar 54,81 persen, pns berjumlah 9.464 orang, sementara sisanya pekerjaan seperti wiraswasta,  TNI/Polisi, pedagang, nelayan, dan lain-lain. Dari sisi angka melek huruf di Pidie ada di angka 4,39 persen. Angka pengangguran di Pidie mencapai 8,88 persen atau  ada sekitar 16.300 jiwa pengangguran dari total angkatan kerja  di Kabupaten Pidie.[4]
Umumnya perilaku pemilih Dari data diatas dapat dilihat bahwa Kabupaten Pidie masih kurang dalam hal ekonomi serta pendidikan. Maka hal ini turut mepengaruhi perilaku pemilih di Pidie yang berada di faktor pekerjaan/ketokohan dengan model sosiologis dan model rasional choice,  hal ini dapat dibuktikan dari faktor pemilih bagaimana masyarakat tidak bermasalah dengan pendapatan  dan pendidikan. Asal si calon memiliki jaringan luas di masyarakat dan memiliki tali persaudaraan yang banyak yang kuat maka dapat dipastikan dialah yang menang. Dari sisi kenamaan si calon ini juga turut serta dalam menggaet pemilih, misal dia seorang Teungku atau seorang tokoh dalam masyarakat itu juga bsa membuat dia memenangkan suatu pemilihan di Pidie. Model rasional choice yang memilih berdasarkan apa yang didapatkan terjadi di daerah perkotaan Sigli dan sekitarnya, karena kawasan ini dihuni oleh kalangan pegawai negeri dan pebisnis, pedagang. Mereka tentu memilih calon yang bisa misal lebih peduli dengan masalah pendapatan dan peningkatan ekonomi.
Partai PA yang memenangi mayoritas suara pemilu legislatif 2014 di Pidie membuktikan bagaimana mereka bisa memanfaatkan potensi perilaku pemilih di Pidie.  Para calon dari PA berasal dari kalangan Teungku dan Tokoh dalam masyarakat, Kemudian  ada faktor PA dulunya adalah organisasi separatis GAM yang berasal dari Pidie, hingga mempengaruhi suara tinggi pada pemilu yang lalu.
Pemilu legislatif DPRK Pidie dari jumlah 40 kursi yang tersedia. Partai Aceh mendapat 23 kursi.Kemudian, diurutan kedua Nasdem memperoleh lima kursi, Gerindra empat kursi. Lalu Demokrat dan Golkar masing-masing tiga kursi. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Damai Aceh (PDA) masing-masing mendapat satu kursi.[5]
    
Pelanggaran di Pemilu Pidie

Respons pemilih terhadap politik uang dapat berbeda-beda di setiap masyarakat. Seperti kata Schaffer, “vote buying carries different meanings in different historical and cultural contexts.” Dengan kata lain, dampak dari praktek politik uang sangat ditentukan oleh kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dari masing-masing masyarakat. Sebagai contoh, seorang tamu di Taiwan memiliki kebiasaan untuk memberikan hadiah kecil kepada tuan rumahnya.
Terdapat sedikitnya empat lingkaran  politik uang dalam Pemilukada. Pertama, transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan pasangan calon kepala daerah yang akan menjadi pengambil kebijakan/keputusan politikpasca Pemilukada. Kedua, transaksi antara pasangan calon kepala daerah dengan partai politik yang mempunyai hak untuk mencalonkan. Ketiga, transaksi antara pasangan calon dan tim kampanye dengan petugas-petugas Pemilukada yang mempunyai wewenang untuk menghitung perolehan suara. Keempat, transaksi antara calon atau tim kampanye dengan calon pemilih dalam bentuk pembelian suara.[6]
Khususnya di Pidie praktek kecurangan ini juga sangat terasa, dimana hal ini sering dilancarkan ketika pemilu. Para calon biasanya akan memberikan uang kepada orang tertentu untuk memilihnya. Dengan jumlah uang kisaran 50-100 ribuan biasanya H-1 pencoblosan mulai dibagi. Walaupun demikian masyarakat Pidie yang telah medapat uang sogokan dari calon, tidak mempengaruhi pilihannya untuk memilih si caleg yang telah menyogoknya. Kegiatan intimidasi dan kekerasan juga kerap terjadi di Pidie, menjelang hari pemilu banyak terjadi insiden perusakan TPS, sabotase fasilitas pemilu, serangan fajar, dan lain-lain. Intimidasi untuk memilih seorang calon dari partai tertentu  khususnya partai PA, biasanya hal ini terjadi di kawasan yang agak pedalaman. Hal ini karena kurangnya pengawasan dari pengawas pemilu, dan ketidakberanian masyrakat untu melapor pihak berwajib. Yang terakhir penggelembungan suara, dimana prses ini terjadi atas kertas kosong yang tersisa di TPS diperjualbelikan kepada para calon kemudian itu digunakan untuk meningkatkan suaranya.
Hal kekerasan yang kerap terjadi, semuanya belum biasanya melakukan demokrasi yang bersih. PA sebagai partai yang memiliki banyak suara di tiap pemilu di Aceh, masih menggunakan cara mereka sendiri di gunung dengan sistem komando dan lain-lainnya. Mereka perlu mengubahnya, karena tidaklah etis menyamakan situasi saat bermasyarakat dengan saat dulu itu.
Kesimpulannya yaitu bahwa dengan melihat perilaku bahwa masyarakat Pidie yang menggunakan model pemilih sosiologis, para calon perlu lebih kreatif dan variatif dalam membuat program kerja dalam kampanye atau bisa juga bagi partai memilih calon yang terbaik, dengan megajukan nama yang benar-benar bisa membawa perubahan di berbagai sektor, baik ekonomi, pendidikan dan lain-lainnya. Perlu diketahui bahwasanya semenjak konflik berakhir, pemilu di kawasan Aceh berlangsung dengan baik. Berbagai gangguan itu memang tidaklah lepas dari kegiatan di pemilu Indonesia, hal ini dikarenakan bangasa Indonesia yang sedang belajar bagaimana cara demokrasi yang baik. Kemudian perilaku pemilih biarlah menjadi ciri khas di masing-masing, bukannya perbedaan itu baik.






DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik,  Statistik daerah Pidie 2015, Pidie: BPS Pidie, 2015
Darwin, L Rizkika, Slide Analisis tentang perilaku memilih dalam pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca Orde Baru, 2015
Nurdin, Ali. Jurnal studi perilaku pemilih di Indonesia: Fenomena pemilih rasional-pragmatis, (www.academia.edu/12247359/Studi Perilaku Memilih di Indonesia Fenomena Pemilih Rasional-Pragmatis.html), 2011
Pamungkas, Sigit. Perihal Pemilu, Yogyakarta: Laboratorium  IPOL UGM. 2009
www.aceh.tribunnews.com, 12 Mei 2014. KIP Pidie Tetapkan 40 Kursi Caleg DPRK Pidie















[1]Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, (Yogyakarta: Laboratorium  IPOL UGM. 2009), h. 3.
[2] Ibid, h. 10.
[3] Rizkika Lhena Darwin, Slide Analisis tentang perilaku memilih dalam pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca Orde Baru, h. 3-5.
[4]Pidiekab.bps.go.id, Statistik daerah Pidie 2015.pdf, (Pidie: Badan Pusat Statistik Pidie.2015), h. 3-8.
[5] KIP Pidie Tetapkan 40 Kursi Caleg DPRK Pidie”, www.aceh.tribunnews.com, 12 Mei 2014. Diakses 10 Januari 2015,  jam 8.30 WIB.
[6] Ali Nurdin, Jurnal studi perilaku pemilih di Indonesia:Fenomena pemilih rasional-pragmatis , www.academia.edu/12247359/Studi Perilaku Memilih di_Indonesia Fenomena Pemilih Rasional-Pragmatis.html, h. 10, diakses 9 Januari  2016,  jam  9.30 WIB.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Pemilu dan Model Perilaku Memilih di Kabupaten Pidie"

Posting Komentar