Halo teman teman blogger, pada kali ini
saya akan ngepos mengenai tentang MoU Helsinki dimana ini merupakan nota
perdamaian antara Pemerintah RI-GAM (Gerakan Aceh Merdeka), yah walaupun udah lama apa salahnya sih buat ane reshare juga heheh..... Sedikit cerita
mengenai gimana sejarahnya pada saat itu 15 Agustus 2005 pukul 12.00 waktu
Helsinki atau 16.00 WIB bertempat di Smolna the Government Bunked Hall (Balai
Pertemuan Finlandia) yang berjarak hanya 200 meter dari Istana Presiden
Finlandia Kota Helsinki, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik
Indonesia (RI) dapat bertemu dan duduk bersama di satu meja untuk meng-ikrarkan
janji, membubuhkan tanda tangan dalam MoU Helsinki atas kesepakatan perdamaian,
penghentian perselisihan, kekerasan dan perang dari konflik yang sangat panjang
di Aceh yang telah berlangsung selama hampir tiga puluh tahun. Adalah Crisist
Management Initiative (CMI), lembaga yang dipimpin oleh mantan Presiden
Finlandia Matti Ahtisaari yang memediasi pertemuan perendingan tersebut.
Tercapainya kesepakatan perdamaian Aceh merupakan perjalanan panjang dari kedua
belah pihak dalam proses negosiasi politik yang alot. Lobi-lobi politik dalam
proses perundingan, ditempuh pemerintah RI melalui pendekatan kemanusiaan
dengan mempertimbangkan : penderitaan rakyat Aceh harus dihentikan, rusaknya
tatanan perekonomian harus disudahi, hancurnya sarana dan prasarana umum serta
hilangnya puluhan ribu nyawa masyarakat sipil yang tidak berdosa menjadi telaah
para perunding untuk mengakhiri konflik.
Nota Kesepahaman antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka
Pemerintah Republik Indonesia dan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian
konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi
semua.
Para pihak bertekad untuk menciptakan
kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses
yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik
Indonesia.
Para pihak sangat yakin bahwa hanya
dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan
kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26 Desember 2005 dapat mencapai kemajuan dan
keberhasilan.
Para pihak yang terlibat dalam konflik
bertekad untuk membangun rasa saling percaya.
Nota Kesepahaman ini memerinci isi
persetujuan yang dicapai dan prinsip- prinsip yang akan memandu proses
transformasi.
Untuk maksud ini Pemerintah RI dan GAM
menyepakati hal-hal berikut:
1. Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
1.1. Undang-undang tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
1.1.1. Undang-undang baru tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
akan diundangkan dan akan mulai berlaku
sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.
1.1.2. Undang-undang baru tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
akan didasarkan pada prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a). Aceh akan melaksanakan kewenangan
dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan
administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri,
pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan
kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan
kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.
b). Persetujuan-persetujuan
internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan
hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan
persetujuan legislatif Aceh.
c). Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan
konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.
d). Kebijakan-kebijakan administratif
yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan
dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.
1.1.3. Nama Aceh dan gelar pejabat
senior yang dipilih akan ditentukan oleh
legislatif Aceh setelah pemilihan umum
yang akan datang.
1.1.4. Perbatasan Aceh merujuk pada
perbatasan 1 Juli 1956.
1.1.5. Aceh memiliki hak untuk
menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk
bendera, lambang dan himne.
1.1.6. Kanun Aceh akan disusun kembali
untuk Aceh dengan menghormati
tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat
Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh.
1.1.7. Lembaga Wali Nanggroe akan
dibentuk dengan segala perangkat upacara
dan gelarnya.
1.2. Partisipasi Politik
1.2.1 Sesegera mungkin, tetapi tidak
lebih dari satu tahun sejak
penandatanganan Nota Kesepahaman ini,
Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai
politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami
aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam
tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota
Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian
partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi
sumbangan positif bagi maksud tersebut.
1.2.2 Dengan penandatanganan Nota
Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan
memiliki hak menentukan calon-calon
untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada
bulan April 2006 dan selanjutnya.
1.2.3 Pemilihan lokal yang bebas dan
adil akan diselenggarakan di bawah
undang-undang baru tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh untuk memilih Kepala Pemerintah Aceh dan
pejabat terpilih lainnya pada bulan April 2006 serta untuk memilih anggota
legislatif Aceh pada tahun 2009.
1.2.4 Sampai tahun 2009 legislatif
(DPRD) Aceh tidak berkewenangan untuk
mengesahkan peraturan perundang-undangan
apapun tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.
1.2.5 Semua penduduk Aceh akan diberikan
kartu identitas baru yang biasa
sebelum pemilihan pada bulan April 2006.
1.2.6 Partisipasi penuh semua orang Aceh
dalam pemilihan lokal dan nasional,
akan dijamin sesuai dengan Konstitusi
Republik Indonesia.
1.2.7 Pemantau dari luar akan diundang
untuk memantau pemilihan di Aceh.
Pemilihan lokal bisa diselenggarakan
dengan bantuan teknis dari luar.
1.2.8 Akan adanya transparansi penuh
dalam dana kampanye.
1.3. Ekonomi
1.3.1. Aceh berhak memperoleh dana
melalui hutang luar negeri. Aceh berhak
untuk menetapkan tingkat suku bunga
berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank
Indonesia).
1.3.2. Aceh berhak menetapkan dan
memungut pajak daerah untuk membiayai
kegiatan-kegiatan internal yang resmi.
Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional
serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.
1.3.3. Aceh akan memiliki kewenangan
atas sumber daya alam yang hidup di
laut teritorial di sekitar Aceh.
1.3.4. Aceh berhak menguasai 70% hasil
dari semua cadangan hidrokarbon dan
sumber daya alam lainnya yang ada saat
ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.
1.3.5. Aceh melaksanakan pembangunan dan
pengelolaan semua pelabuhan
laut dan pelabuhan udara dalam wilayah
Aceh.
1.3.6. Aceh akan menikmati perdagangan
bebas dengan semua bagian
Republik Indonesia tanpa hambatan pajak,
tarif ataupun hambatan lainnya.
1.3.7. Aceh akan menikmati akses
langsung dan tanpa hambatan ke negara-
negara asing, melalui laut dan udara.
1.3.8. Pemerintah RI bertekad untuk
menciptakan transparansi dalam
pengumpulan dan pengalokasian pendapatan
antara Pemerintah Pusat dan Aceh dengan menyetujui auditor luar melakukan
verifikasi atas kegiatan tersebut dan menyampaikan hasil-hasilnya kepada Kepala
Pemerintah Aceh.
1.3.9. GAM akan mencalonkan
wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh
pada semua tingkatan dalam komisi yang
dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi pasca-Tsunami (BRR).
1.4. Peraturan Perundang-undangan
1.4.1. Pemisahan kekuasaan antara
badan-badan legislatif, eksekutif dan
yudikatif akan diakui.
1.4.2. Legislatif Aceh akan merumuskan
kembali ketentuan hukum bagi Aceh
berdasarkan prinsip-prinsip universal
hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional
Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
1.4.3. Suatu sistem peradilan yang tidak
memihak dan independen, termasuk
pengadilan tinggi, dibentuk di Aceh di
dalam sistem peradilan Republik Indonesia.
1.4.4. Pengangkatan Kepala Kepolisian
Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi
harus mendapatkan persetujuan Kepala
Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan pelatihan anggota kepolisian
organik dan penuntut umum akan dilakukan dengan berkonsultasi dan atas
persetujuan Kepala
Pemerintahan Aceh, sesuai dengan standar
nasional yang berlaku.
1.4.5. Semua kejahatan sipil yang
dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan
diadili pada pengadilan sipil di Aceh.
2. Hak Asasi Manusia
2.1. Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan
Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan
mengenai Hak- hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
2.2. Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia
akan dibentuk untuk Aceh.
2.3. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan
tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.
3. Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat
3.1. Amnesti
3.1.1. Pemerintah RI, sesuai dengan
prosedur konstitusional, akan memberikan
amnesti kepada semua orang yang telah
terlibat dalam kegiatan GAM sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari sejak
penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
3.1.2. Narapidana dan tahanan politik
yang ditahan akibat konflik akan
dibebaskan tanpa syarat secepat mungkin
dan selambat-lambatnya 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
3.1.3. Kepala Misi Monitoring akan
memutuskan kasus-kasus yang
dipersengketakan sesuai dengan nasihat
dari penasihat hukum Misi Monitoring.
3.1.4. Penggunaan senjata oleh personil
GAM setelah penandatanganan Nota
Kesepahaman ini akan dianggap sebagai
pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman dan hal itu akan membatalkan yang
bersangkutan memperoleh amnesti.
3.2. Reintegrasi kedalam masyarakat
3.2.1. Sebagai warga negara Republik
Indonesia, semua orang yang telah
diberikan amnesti atau dibebaskan dari
Lembaga Permasyarakatan atau tempat penahanan lainnya akan memperoleh semua
hak-hak politik, ekonomi dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas
dalam proses politik baik di Aceh maupun pada tingkat nasional.
3.2.2. Orang-orang yang selama konflik
telah menanggalkan kewarganegaraan
Republik Indonesia berhak untuk
mendapatkan kembali kewarganegaraan mereka.
3.2.3. Pemerintah RI dan Pemerintah Aceh
akan melakukan upaya untuk
membantu orang-orang yang terlibat dalam
kegiatan GAM guna memperlancar reintegrasi mereka ke dalam masyarakat.
Langkah-langkah tersebut mencakup pemberian kemudahan ekonomi bagi mantan
pasukan GAM, tahanan politik yang telah memperoleh amnesti dan masyarakat yang
terkena dampak. Suatu Dana Reintegrasi di bawah kewenangan Pemerintah Aceh akan
dibentuk.
3.2.4. Pemerintah RI akan mengalokasikan
dana bagi rehabilitasi harta benda
publik dan perorangan yang hancur atau
rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh.
3.2.5. Pemerintah RI akan mengalokasikan
tanah pertanian dan dana yang
memadai kepada Pemerintah Aceh dengan
tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat
dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak.
Pemerintah Aceh akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut:
a). Semua mantan pasukan GAM akan menerima
alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak
dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.
b). Semua tahanan politik yang
memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan,
atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu
bekerja.
c. Semua rakyat sipil yang dapat
menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan menerima alokasi tanah
pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari
Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.
3.2.6. Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI
akan membentuk Komisi Bersama
Penyelesaian Klaim untuk menangani
klaim-klaim yang tidak terselesaikan.
3.2.7. Pasukan GAM akan memiliki hak
untuk memperoleh pekerjaan sebagai
polisi dan tentara organik di Aceh tanpa
diskriminasi dan sesuai dengan standar nasional.
4. Pengaturan Keamanan
4.1. Semua aksi kekerasan antara
pihak-pihak akan berakhir selambat- lambatnya pada saat penandatanganan Nota
Kesepahaman ini.
4.2. GAM melakukan demobilisasi atas
semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun
menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman
ini.
4.3. GAM melakukan decommissioning semua
senjata, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh para anggota dalam
kegiatan GAM dengan bantuan Misi Monitoring Aceh (AMM). GAM sepakat untuk
menyerahkan 840 buah senjata.
4.4. Penyerahan persenjataan GAM akan
dimulai pada tanggal 15 September 2005, yang akan dilaksanakan dalam empat
tahap, dan diselesaikan pada tanggal 31 Desember 2005.
4.5. Pemerintah RI akan menarik semua
elemen tentara dan polisi non-organik dari Aceh.
4.6. Relokasi tentara dan polisi
non-organik akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, dan akan dilaksanakan
dalam empat tahap sejalan dengan penyerahan senjata GAM, segera setelah setiap
tahap diperiksa oleh AMM, dan selesai pada tanggal 31 Desember 2005.
4.7. Jumlah tentara organik yang tetap
berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan polisi
organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang.
4.8. Tidak akan ada pergerakan
besar-besaran tentara setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Semua
pergerakan lebih dari sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya
kepada Kepala Misi Monitoring.
4.9. Pemerintah RI melakukan pengumpulan
semua senjata illegal, amunisi
dan alat peledak yang dimiliki oleh
setiap kelompok dan pihak-pihak illegal manapun.
4.10. Polisi organik akan bertanggung
jawab untuk menjaga hukum dan
ketertiban di Aceh.
4.11. Tentara akan bertanggung jawab
menjaga pertahanan eksternal Aceh.
Dalam keadaan waktu damai yang normal,
hanya tentara organik yang akan berada di Aceh.
4.12. Anggota polisi organik Aceh akan
memperoleh pelatihan khusus di Aceh
dan di luar negeri dengan penekanan pada
penghormatan terhadap hak asasi manusia.
5. Pembentukan Misi Monitoring Aceh
5.1. Misi Monitoring Aceh (AMM) akan
dibentuk oleh Uni Eropa dan negara- negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat
memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.
5.2. Tugas AMM adalah untuk:
a). Memantau demobilisasi GAM dan
decomissioning persenjataannya.
b). Memantau relokasi tentara dan polisi
non-organik.
c). Memantau reintegrasi anggota-anggota
GAM yang aktif ke dalam masyarakat.
d). Memantau situasi hak asasi manusia
dan memberikan bantuan dalam bidang ini.
e). Memantau proses perubahan peraturan
perundang-undangan.
f). Memutuskan kasus-kasus amnesti yang
disengketakan.
g). Menyelidiki dan memutuskan pengaduan
dan tuduhan pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman ini.
h). Membentuk dan memelihara hubungan
dan kerjasama yang baik dengan para pihak.
5.3. Status Persetujuan Misi (SoMA)
antara Pemerintah RI dan Uni Eropa akan ditandatangani setelah Nota Kesepahaman
ini ditandatangani. SoMA mendefinisikan status, hak-hak istimewa, dan kekebalan
AMM dan anggota-anggotanya. Negara-negara ASEAN yang ikut serta yang telah
diundang oleh Pemerintah RI akan menegaskan secara tertulis penerimaan dan
kepatuhan mereka terhadap SoMA dimaksud.
5.4. Pemerintah RI akan memberikan semua
dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, Pemerintah RI akan
menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dan
menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM.
5.5. GAM akan memberikan semua
dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, GAM akan menulis
surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta menyatakan
komitmen dan dukungannya kepada AMM.
5.6. Para pihak bertekad untuk
menciptakan kondisi kerja yang aman, terjaga dan stabil bagi AMM dan menyatakan
kerjasamanya secara penuh dengan AMM.
5.7. Tim monitoring memiliki kebebasan
bergerak yang tidak terbatas di Aceh. Hanya tugas-tugas yang tercantum dalam
rumusan Nota Kesepahaman ini yang akan diterima oleh AMM. Para pihak tidak
memiliki veto atas tindakan atau kontrol terhadap kegiatan operasional AMM.
5.8. Pemerintah RI bertanggung jawab
atas keamanan semua personil AMM di Indonesia. Personil AMM tidak membawa
senjata. Bagaimanapun juga Kepala Misi Monitoring dapat memutuskan perkecualian
bahwa patroli tidak akan didampingi oleh pasukan bersenjata Pemerintah RI.
Dalam hal ini, Pemerintah RI akan diberitahukan dan Pemerintah RI tidak akan
bertanggung jawab atas keamanan patroli tersebut.
5.9. Pemerintah RI akan menyediakan
tempat-tempat pengumpulan senjata dan mendukung tim-tim pengumpul senjata
bergerak (mobile team) bekerjasama dengan GAM.
5.10. Penghancuran segera akan
dilaksanakan setelah pengumpulan senjata
dan amunisi. Proses ini akan sepenuhnya
didokumentasikan dan dipublikasikan sebagaimana mestinya.
5.11. AMM melapor kepada Kepala Misi
Monitoring yang akan memberikan
laporan rutin kepada para pihak dan
kepada pihak lainnya sebagaimana diperlukan, maupun kepada orang atau kantor
yang ditunjuk di Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta.
5.12. Setelah penandatanganan Nota
Kesepahaman ini setiap pihak akan
menunjuk seorang wakil senior untuk
menangani semua hal ihwal yang terkait dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini
dengan Kepala Misi Monitoring.
5.13. Para pihak bersepakat atas suatu
pemberitahuan prosedur
tanggungjawab kepada AMM, termasuk
isu-isu militer dan rekonstruksi.
5.14. Pemerintah RI akan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan
berkaitan dengan pelayanan medis darurat
dan perawatan di rumah sakit bagi personil AMM.
5.15. Untuk mendukung transparansi,
Pemerintah RI akan mengizinkan akses
penuh bagi perwakilan media nasional dan
internasional ke Aceh.
6. Penyelesaian perselisihan
6.1. Jika terjadi perselisihan berkaitan
dengan pelaksanaan Nota
Kesepahaman ini, maka akan segera
diselesaikan dengan cara berikut:
a). Sebagai suatu aturan, perselisihan
yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman ini akan diselesaikan oleh
Kepala Misi Monitoring, melalui musyawarah dengan para pihak dan semua pihak
memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala Misi Monitoring akan
mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.
b). Jika Kepala Misi Monitoring
menyimpulkan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan cara
sebagaimana tersebut di atas, maka perselisihan akan dibahas bersama oleh
Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dari setiap pihak. Selanjutnya,
Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.
c). Dalam kasus-kasus di mana
perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana
disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung
kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia,
pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative,
serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi
dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan
mengambil keputusan yang mengikat para pihak.
***
Pemerintah RI dan GAM tidak akan
mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota
Kesepahaman ini.
***
Ditandatangani dalam rangkap tiga di
Helsinki, Finlandia, pada hari Senin, tanggal 15 Agustus 2005.
A.n. Pemerintah Republik Indonesia,
Hamid Awaluddin
Menteri Hukum dan HAM
A.n. Gerakan Aceh Merdeka,
Malik Mahmud
Pimpinan
Disaksikan oleh,
Martti Ahtisaari
Mantan Presiden Finlandia
Ketua Dewan Direktur Crisis Management
Initiative
Fasilitator proses negosiasi
keren....
BalasHapusmal.